Jumat, 23 November 2007

OBAT PALSU


Pandangan Saya Terhadap Obat Palsu Sebagai Calon Apoteker Yang Berjiwa Islami

            Obat palsu adalah obat yang bukan sebenarnya, atau jika dilihat dari segi fisik memang terlihat seperti obat tetapi sebenarnya sudah tidak berhasiat atau masih berhasiat tetapi sangat kecil khasiatnya. Malahan jika kita mengkonsumsi obat palsu dapat menyebabkan kematian. Hal ini dapat terjadi karena obat palsu itu produk tanpa bahan aktif, produk dengan jumlah bahan aktif yang tidak tepat, produk dengan bahan aktif tidak benar. Kalangan apoteker paling bertanggung-jawab karena mengkondisikan maraknya penyebaran obat palsu. Fakta tentang minimnya persentase kehadiran apoteker di apotek menyebabkan tidak adanya kontrol terhadap pihak pemegang modal apotek yang tergiur dengan keuntungan besar yang instan. Komitmen para farmasis juga mempunyai andil besar dalam memantau kegiatan para pebisnis apotek, hal-hal tersebut sudah mampu melumpuhkan penyebaran obat palsu di nusantara.
Kesadaran untuk memproduksi dan mengkonsumsi makanan yang halal dan baik merupakan perwujutan dari keimanan kepada Allah SWT. Keimanan disamping diwujudkan dalam bentuk ibadah mahdah, harus pula diwujudkan dalam kesadaran bermuamalah yang sesuai dengan ajaran islam. Penyimpangan terhadap hal ini dianggap sebagai dosa dan pelanggaran yang mempunyai implikasi negatif dalam kehidupan di dunia. Salah satunya dapat kita lihat dalam kasus obat palsu.
Kalau membicarakan tentang Farmasis Indonesia, saat ini saya rasa kita masih belum benar-benar terjaga dari tidur kita karena banyak farmasis Indonesia(saya katakan banyak karena ada sebagian yang tidak) yang belum menyadari betul tugas dan kewajiban profesinya. Banyak sekali keluhan dari para farmasis mengenai posisinya yang sedikit tersisih di bidang kesehatan namun keluhan itu sayangnya tidak diimbangi dengan tindakan yang nyata. Menurut Undang-Undang No 23/1992 tentang kesehatan, pekerjaan kefarmasian meliputi : Pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, Pengamanan pengadaan, Penyimpanan dan distribusi obat, Pengelolaan obat, Pelayanan obat atas resep dokter, Pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Oleh karena itu menurut saya farmasis yang dalam khususnya apoteker selain cerdas dalam menjalankan profesinya juga harus memiliki akhlakul karimah, karena mempunyai otoritas untuk mengedarkan narkotika dan psikotropika. Kalau tidak mempunyai akhlak yang mulia, sangat berbahaya, karena itu moralitas dan integritas sebagai apoteker betul-betul harus dijaga, sehingga pekerjaan kefarmasian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Jika kita tinjau dari segi islam, sebenarnya kewajiban utama kaum muslim adalah memproduksi dan mengkonsumsi makanan yang halal dan baik. Seperti mengkonsumsi obat, obat yang baik yaitu obat yang dapat berkhasiat menyembuhkan penyakit bagi yang mengkonsumsinya.
Bukan obat yang apabila dikonsumsi malah menimbulkan penyakit seperti mengkonsumsi obat palsu.Seperti yang sudah dijelaskan dalam surat Al Baqoroh 168 dan 172 :

168.  Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
172.  Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.
Jadi sebagai seorang farmasis secara tidak langsung ikut bertanggung jawab atas penyalahgunaan ilmu kefarmasian,yaitu tentang hal pembuatan dan peredaran obat palsu. Farmasis memang mempunyai kebebasan dalam hal pengembangan obat, tetapi harus diiringi dengan tanggung jawab. Tidak mungkin ada kebebasan tanpa tanggung jawab. Karena setiap manusia diberi hati nurani untuk mengarahkan manusia kepada kebaikan dan sebagai dasar pertimbangan. Oleh karena itu, jika sekarang-sekarang ini marak beredar obat palsu menurut saya itu merupakan cerminan dari manusia yang memiliki kebebasan tanpa dibarengi dengan rasa tanggung jawab. Sehingga dalam bertingkah laku tidak menggunakan akal pikiran serta hati nuraninya. Hal ini mencerminkan manusia dengan penyimpangan akhlak yang buruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar